Kamu (1)
Kamu
Jakarta, Juni 2004
by Paula
Sudah hampir setahun aku berpisah darimu, namun tiada satupun kabar darimu. Tidak sms, tidak telepon tidak juga imel. Padahal aku sudah berusaha mengirimkan imel kepadamu. Aku berusaha mengirimkan sms meski keadaan keuanganku lagi ketat. Setiap hari aku dengan setia berharap kabar darimu. Aku mengecek imel dengan wajah berseri berharap ada kabar dari orang yang kunanti. Bahkan aku pun berusaha memantau kabarmu dari teman-teman.
Namun harapan dan penantianku sepertinya sia-sia. Aku jadi ragu apa yang selama ini kamu katakan kepadaku. Katamu kamu suka aku, katamu aku sangat menyenangkan, dan katamu pula aku sangat berbeda dengan wanita yang lainnya. Apakah itu dibandingkan dengan mantan pacarmu ataukah dengan gadis-gadis lain yang pernah kamu dekati, apakah itu hanya gombalan mu aja, toh saya juga tidak pernah tahu pasti.
Sebulan terakhir sebelum kita berpisah, campur aduk perasaan di dalam dadaku. Hatiku berkata kamu cukup ok, penampilan fisik bolehlah walau ada sedikit yang tidak kusuka. Tentang rohani kamu taat beribadah bahkan acapkali memimpin ibadah jemaat. Trus keluargamu juga baik sejauh yang ku tahu, mereka orang-orang yang mempunyai budi pekerti dan akhlak tinggi. Saya juga senang dengan kebiasaanmu yang suka olahraga. Walau tidak ganteng tapi badanmu selalu bugar, dan saya suka dengan lelaki yang segar dan sehat.
Seandainya kamu ‘menembakku’ gimana ya, apa yang harus kujawab. Saya berangan-angan, kenapa jadi begini. Kalo teringat di dalam realita betapa bulan-bulan terakhir ini saya sengsara kamu buat. Secara tidak disengaja kita merupakan satu tim di kantor. Dalam pekerjaan kita berdua harus banyak komunikasi. Karakter kita berbeda seperti kutub utara dan selatan. Kamu orangnya sabar saya orangnya selalu mau cepat. Kamu orangnya santai, sementara saya selalu merencanakan tindakan yang akan diambil untuk menyelesaikan proyek. Ada banyak hal yang berbeda, dan sering itu membuat perbedaan pendapat di antara kita.
Apa kamu tidak tahu bahwa bekerja sama denganmu membuatku menderita? Saya benci dengan sifatmu yang terlalu santai. Saya sudah memperkirakan kemungkinan yang akan terjadi, dan bila itu benar-benar terjadi saya sangat membencimu karena tidak menanggulanginya. Bagiku hidup itu harus bersemangat mengejar masa depan, mengisi waktu yang ada dengan pengembangan diri dan karakter sambil membangun pondasi karir dan pendidikan. Namun bagimu hidup ini terlalu sulit untuk diraih, terlalu banyak tantangan dan halangan yang harus dilewati. Ya begitulah hidup, kataku kepadamu, hadapi dengan berani maka kamu sudah menang! Seringkali aku berusaha membesarkan hatimu, dengan kata-kata lembut (yang hanya bisa kulakukan kalau lagi sabar saja) atau dengan omelan bila aku sudah tidak sabar dengan sikapmu.
Namun ternyata waktu dan komunikasi kita (walaupun sering misundertand) telah memberikan efek yang lain. Seperti kata pepatah jawa “witing tresno jalaran soko kulina” yang kira-kira artinya cinta yang tumbuh karena sering bertemu. Setelah cukup lama mendengar kata-kata manismu yang selama ini tidak pernah kuanggap, aku jadi sayang terhadapmu. Aku jadi mengkhawatirkanmu bila kamu mulai bertindak aneh-aneh. Dan aku teringat kepadamu bila ada satu hal yang membahagiakan, aku ingin bercerita kepadamu. Kamu memang sabar mendengar ceritaku, walau kadang aku bercerita dengan sedikit emosi.
(to be continued)
Jakarta, Juni 2004
by Paula
Sudah hampir setahun aku berpisah darimu, namun tiada satupun kabar darimu. Tidak sms, tidak telepon tidak juga imel. Padahal aku sudah berusaha mengirimkan imel kepadamu. Aku berusaha mengirimkan sms meski keadaan keuanganku lagi ketat. Setiap hari aku dengan setia berharap kabar darimu. Aku mengecek imel dengan wajah berseri berharap ada kabar dari orang yang kunanti. Bahkan aku pun berusaha memantau kabarmu dari teman-teman.
Namun harapan dan penantianku sepertinya sia-sia. Aku jadi ragu apa yang selama ini kamu katakan kepadaku. Katamu kamu suka aku, katamu aku sangat menyenangkan, dan katamu pula aku sangat berbeda dengan wanita yang lainnya. Apakah itu dibandingkan dengan mantan pacarmu ataukah dengan gadis-gadis lain yang pernah kamu dekati, apakah itu hanya gombalan mu aja, toh saya juga tidak pernah tahu pasti.
Sebulan terakhir sebelum kita berpisah, campur aduk perasaan di dalam dadaku. Hatiku berkata kamu cukup ok, penampilan fisik bolehlah walau ada sedikit yang tidak kusuka. Tentang rohani kamu taat beribadah bahkan acapkali memimpin ibadah jemaat. Trus keluargamu juga baik sejauh yang ku tahu, mereka orang-orang yang mempunyai budi pekerti dan akhlak tinggi. Saya juga senang dengan kebiasaanmu yang suka olahraga. Walau tidak ganteng tapi badanmu selalu bugar, dan saya suka dengan lelaki yang segar dan sehat.
Seandainya kamu ‘menembakku’ gimana ya, apa yang harus kujawab. Saya berangan-angan, kenapa jadi begini. Kalo teringat di dalam realita betapa bulan-bulan terakhir ini saya sengsara kamu buat. Secara tidak disengaja kita merupakan satu tim di kantor. Dalam pekerjaan kita berdua harus banyak komunikasi. Karakter kita berbeda seperti kutub utara dan selatan. Kamu orangnya sabar saya orangnya selalu mau cepat. Kamu orangnya santai, sementara saya selalu merencanakan tindakan yang akan diambil untuk menyelesaikan proyek. Ada banyak hal yang berbeda, dan sering itu membuat perbedaan pendapat di antara kita.
Apa kamu tidak tahu bahwa bekerja sama denganmu membuatku menderita? Saya benci dengan sifatmu yang terlalu santai. Saya sudah memperkirakan kemungkinan yang akan terjadi, dan bila itu benar-benar terjadi saya sangat membencimu karena tidak menanggulanginya. Bagiku hidup itu harus bersemangat mengejar masa depan, mengisi waktu yang ada dengan pengembangan diri dan karakter sambil membangun pondasi karir dan pendidikan. Namun bagimu hidup ini terlalu sulit untuk diraih, terlalu banyak tantangan dan halangan yang harus dilewati. Ya begitulah hidup, kataku kepadamu, hadapi dengan berani maka kamu sudah menang! Seringkali aku berusaha membesarkan hatimu, dengan kata-kata lembut (yang hanya bisa kulakukan kalau lagi sabar saja) atau dengan omelan bila aku sudah tidak sabar dengan sikapmu.
Namun ternyata waktu dan komunikasi kita (walaupun sering misundertand) telah memberikan efek yang lain. Seperti kata pepatah jawa “witing tresno jalaran soko kulina” yang kira-kira artinya cinta yang tumbuh karena sering bertemu. Setelah cukup lama mendengar kata-kata manismu yang selama ini tidak pernah kuanggap, aku jadi sayang terhadapmu. Aku jadi mengkhawatirkanmu bila kamu mulai bertindak aneh-aneh. Dan aku teringat kepadamu bila ada satu hal yang membahagiakan, aku ingin bercerita kepadamu. Kamu memang sabar mendengar ceritaku, walau kadang aku bercerita dengan sedikit emosi.
(to be continued)
Comments